Jakarta – Volume perdagangan luar negeri Daerah Otonom Uighur Xinjiang di China barat laut melonjak 86,4 persen secara tahunan menjadi 44,4 miliar yuan di awal 2023, dan terus meningkat hingga saat ini.
Menurut pihak bea cukai Urumqi, nilai ekspor Xinjiang mencapai 38,15 miliar yuan dalam periode tersebut, naik 91,6 persen, sementara nilai impornya tumbuh 59,8 persen menjadi 6,24 miliar yuan. Berdasarkan data bea cukai, produk padat karya, mekanis, dan elektrik merupakan barang ekspor utama Xinjiang. Ekspor produk energi baru, termasuk baterai lithium, sel surya, dan kendaraan energi baru, juga meningkat secara signifikan.
Sayangnya, pertumbuhan tersebut diikuti oleh isu meningkatnya angka kerja paksa terhadap etnis minoritas Uighur di Tiongkok Barat Laut, meskipun telah ada upaya keras untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan tersebut. Berbagai langkah sudah dilakukan oleh organisasi kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mencegah produk ‘made in Uighur’ agar tidak mencapai pasar barat.
Akan tetapi, upaya dan langkah tersebut mendapatkan hambatan, yang dapat dilihat dari berita mengenai angka perdagangan terbaru dari Xinjiang naik sebesar 49 persen pada tahun pertama 2023, yang didorong oleh peningkatan ekspor produk padat karya sebesar 50 persen. Angka-angka yang dilaporkan oleh “South China Morning Post” pada tanggal 24 Oktober 2023 lalu tersebut, disertai dengan angka-angka yang lebih mengejutkan lagi dari saluran berita Beijing “China News,” yang mengutip prefektur Kashgar, di mana perdagangan luar negerinya meningkat sebesar 113 persen.
Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menyebut fakta yang dipublikasikan oleh berbagai media massa dan media sosial menunjukkan, perpindahan tenaga kerja secara paksa telah meningkat, khususnya dari atau di wilayah Xinjiang. Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan eksodus besar-besaran tenaga kerja untuk bekerja di berbagai industri milik pemerintah China, adalah ‘faktor x’ yang mengakselerasi ekspor Tiongkok yang membanjiri pasar dunia.
“Wajar saja jika banyak yang menyebut kerja paksa terhadap muslim Uighur yang tenaganya dibayar murah oleh China, adalah perbudakan modern di zaman ini,” kata AB Solissa dalam keterangan tertulis, Selasa 5 Desember 2023. Semakin banyak industri dan tempat kerja di Tiongkok, lanjut AB Solissa, yang senang memanfaatkan pekerja dari etnis minoritas seperti muslim Uighur yang murah dan patuh.
CENTRIS mensinyalir skema kerja paksa yang terjadi saat ini di China, belum banyak terdeteksi karena dilakukan dengan cara-cara tradisional.
“Berbagai organisasi kemanusiaan dan HAM Dunia tidak berdaya alias kesulitan melakukan audit atau pencarian fakta untuk menentukan kondisi nyata di mana orang-orang Uighur bekerja dan mereka rata-rata takut untuk membocorkan rahasia tempat mereka bekerja,” ungkap AB Solissa.
Meskipun pemaksaan adalah tindakan ilegal di bawah Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) di mana Tiongkok menjadi salah satu anggotanya, indikator mengenai kerja paksa sangat lemah, sehingga memudahkan Beijing untuk menandatangani perjanjian ILO yang menyebut kerja paksa non-Han kini merupakan pengaturan yang normal dan dapat diterima.
Meskipun demikian, berbagai negara. Salah satu nya Amerika Serikat (AS), hingga saat ini terus memblokir atau tengah memeriksa produk-produk yang dibuat dalam kerja paksa warga Uighur, Xinjiang, China. AS membatasi impor dari tiga perusahaan Cina karena mempekerjakan minoritas muslim Uighur dengan cara kerja paksa. Xinjiang Tianmian Foundation Textile Co Ltd, Xinjiang Tianshan Wool Textile Co. Ltd dan Xinjiang Zhongtai Group Co. Ltd ditambahkan ke Daftar Entitas Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur, sehingga jumlah total entitas dalam daftar menjadi 27.
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS dalam sebuah pernyataan pada September 2023 silam, menyebut ketiga perusahaan di Xinjiang tersebut ditunjuk karena praktik bisnis mereka yang melibatkan minoritas Uighur dan kelompok teraniaya lainnya.
“Menteri Keamanan Dalam Negeri Alejandro Mayorkas dalam pernyataannya menyebut AS tidak menoleransi perusahaan yang menggunakan kerja paksa, yang melanggar hak asasi individu demi mendapatkan keuntungan,” pungkas AB Solissa.
Baca artikel Trending menarik lainnya di tautan ini.