Di balik gemerlap medali emas yang menghiasi daerah, terdapat ironi yang menggugah rasa keadilan. Pada suatu Sabtu, sebagian atlet dihargai dengan pujian dan bonus, sementara yang lain harus menanggung sendiri biaya perjuangan mereka. Sebuah potret suram terungkap di Surabaya, tempat yang seharusnya memberikan penghormatan kepada setiap usaha atletnya tanpa terkecuali.
Pendapat kritis ini diutarakan oleh Kurnia Cahyanto, seorang pelatih dan pegiat panahan. Pengalamannya bersama timnya di Festival Olahraga Rekreasi Nasional (Fornas) VIII 2025 di Nusa Tenggara Barat menjadi contoh yang menyakitkan. Timnya, yang menyumbangkan empat dari lima medali emas panahan untuk Jawa Timur, harus membiayai perjalanan mereka sendiri.
Diskriminasi ini merupakan tantangan yang mereka hadapi. Meskipun prestasi luar biasa empat medali emas lahir dari satu keluarga di klubnya, mereka harus mengeluarkan biaya pribadi sebesar Rp 2,5 juta per orang untuk anggota tim. Dukungan finansial dan pengakuan yang pantas seolah menghilang dari pandangan mereka.
Terkait hubungan struktur keolahragaan nasional yang memiliki dua lembaga induk, KONI dan KORMI, Kurnia menunjukkan dualisme yang berdampak pada daerah. Meskipun secara teoretis setara, dalam praktiknya terdapat hierarki pengakuan dan alokasi anggaran yang menguntungkan KORMI. Keringat atlet menjadi komoditas untuk meraih anggaran, sementara atlet sendiri dilupakan.
Namun, menanggapi kritik tersebut, Ketua KORMI Kota Surabaya, Muhammad Sunar, mengajak semua untuk memahami fase perjuangan KORMI yang masih muda dibandingkan dengan KONI. Dalam semangat gotong royong dan saling menghargai, mereka berkomitmen untuk meraih prestasi terbaik. Diharapkan masukan ini menjadi panggilan untuk meraih keadilan yang lebih baik bagi atlet.