Bandung Barat — Kabut Pagi dan Janji untuk Bumi
Sejak subuh, para peserta berdatangan. Mereka datang bukan hanya untuk menyaksikan seremoni, tetapi untuk memperbaharui janji: menjaga bumi, menghormati leluhur, dan hidup dalam harmoni dengan alam.
Suara Lintas Suku Menggema di Lereng Gunung
Pukul 07.00 WIB, irama lembut karinding terdengar dari bibir seorang tokoh Baduy. Bunyi itu diikuti oleh denting angklung Sunda, genta Bali, dan tetabuhan Minahasa. Semuanya berpadu membentuk harmoni doa lintas adat.
Air mata tampak mengalir di beberapa wajah. Tak ada yang bicara keras. Semua terhanyut dalam suasana sakral. Seorang peserta mengatakan, “Di sini kita belajar bahwa bumi ini bukan milik siapa-siapa, tetapi titipan yang harus kita jaga.”
Jejak Sejarah: Warisan yang Tak Pernah Pudar
Dalam bahasa Sunda, ngertakeun berarti merawat atau memuliakan, sedangkan bumi lamba bermakna tanah luas — simbol semesta.
Ritual ini diyakini sudah ada sejak masa kerajaan Sunda kuno dan dihidupkan kembali pada 1964 oleh R.M.H. Eyang Kanduruan Kartawinata.
“Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak.” — Tokoh Baduy
Tokoh Nasional: Amanah untuk Generasi Mendatang
Ritual ini juga dihadiri para tokoh nasional. Bapak Wiratno, tokoh lingkungan senior, menegaskan bahwa puncak kebudayaan manusia adalah ketika ia bisa mewariskan bumi dalam keadaan baik kepada generasi yang belum lahir.
Andy Utama, pemerhati lingkungan dari Paseban, menyampaikan pesan keras:
“Jangan berhitung dengan semesta. Kalau semesta yang mulai berhitung dengan kita, kita yang rugi.”
Mayjen Rido menyebut upacara ini sebagai “pengadilan batin”, dan Panglima Dayak menegaskan:
“Alam tidak butuh manusia. Manusialah yang butuh alam.”
Panglima Minahasa kemudian berdiri tegak, seraya berkata lantang:
“Gunung adalah penjaga masa depan. Di sini Bhineka Tunggal Ika nyata. Di sini Pancasila hidup. Merdeka!”
Dari Simbol ke Aksi Nyata
Ritual ini tidak berhenti pada simbol semata. Komunitas Arista Montana bersama Yayasan Paseban di Megamendung membuktikannya dengan tindakan. Selama bertahun-tahun mereka telah menanam lebih dari 15.000 pohon puspa, damar, bambu, dan berbagai tanaman hutan lain sebagai bagian dari konservasi kawasan Gunung Gede-Pangrango dan Tangkuban Parahu.
Baca juga:
Andy Utama dan Cinta Bumi dalam Aksi Nyata
Pesan yang Terus Bergema
Menjelang siang, prosesi ditutup dengan pekikan lantang dari Panglima Dayak:
“Taariu! Taariu! Taariu!”
Teriakan itu bukan hanya seruan, tetapi ikrar suci untuk tidak mengkhianati bumi dan para leluhur.
Ketika peserta mulai meninggalkan lokasi, banyak yang masih larut dalam perasaan haru. Seorang tokoh adat berkata lirih, “Ini bukan akhir. Ini awal dari janji yang harus kita tunaikan.”
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam