Pada tanggal 21 Mei 1998, Indonesia menyaksikan sebuah peristiwa bersejarah ketika Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya setelah memimpin negara selama 32 tahun. Namun, di balik peristiwa penting itu, terdapat cerita menarik dari tokoh-tokoh bangsa, salah satunya adalah Emha Ainun Nadjib atau yang lebih dikenal sebagai Cak Nun. Dalam berbagai kesempatan, Cak Nun membagikan pengalamannya terlibat secara tidak langsung dalam transisi kekuasaan yang dramatis tersebut, dan mencerminkan situasi politik dan kemanusiaan pada saat itu.
Ketika Indonesia berada dalam krisis multidimensi menjelang kejatuhan Soeharto, Cak Nun, bersama dengan sejumlah tokoh sipil dan agama, menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Dalam kesaksian Cak Nun, ia menceritakan bagaimana ia diminta untuk membantu menenangkan situasi dan menyampaikan pesan dari elite kepada masyarakat tanpa kekerasan, melainkan mendorong transisi damai.
Sebelum Soeharto benar-benar turun dari jabatannya, terdapat upaya dari pihak istana untuk mencari jalan keluar agar sang presiden bisa tetap bertahan. Namun, menurut Cak Nun, rakyat Indonesia sudah kehilangan kepercayaan dan situasi tidak memungkinkan Soeharto untuk bertahan. Meskipun Soeharto menyadari situasi tersebut, ia sulit menerima keadaan bahwa kekuasaan yang dibangunnya selama tiga dekade berakhir dalam waktu singkat.
Cak Nun tidak hanya menyaksikan kejatuhan Soeharto, tetapi juga memandang Reformasi sebagai awal tanggung jawab baru dalam menjaga demokrasi, mengawasi kekuasaan, dan membangun peradaban. Ia memperingatkan bahwa lengsernya Soeharto hanya permukaan dari masalah yang lebih dalam, yaitu kebobrokan sistem, krisis moral, dan lemahnya kesadaran kolektif. Konsistensi Cak Nun dalam memberikan pemikiran kritis, spiritualitas, serta kebutuhan membangun bangsa dengan hati, menunjukkan relevansi suaranya hingga saat ini.