Setiap 14 Februari, Hari Valentine dirayakan oleh individu di berbagai negara sebagai momen untuk mengekspresikan kasih sayang. Meskipun ini telah menjadi tradisi populer, di dalam Islam, perayaan Hari Valentine sering dipertanyakan karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Pandangan ulama tentang perayaan ini bervariasi, ada yang melarangnya sepenuhnya karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, namun ada juga yang lebih fleksibel selama tidak melanggar aturan agama. Hal ini menciptakan kebingungan di kalangan umat Islam tentang bagaimana seharusnya bersikap terhadap Hari Valentine.
Untuk memahami lebih lanjut, penting untuk mengeksplorasi berbagai pandangan dari ulama dan pihak terkait. Beberapa ulama menyoroti aspek sejarah dan budaya Valentine, sementara yang lain fokus pada dampaknya bagi umat Islam. Ada perbedaan pendapat yang merinci hukum merayakan Hari Valentine dalam Islam. Asal-usul Hari Valentine sendiri terkait erat dengan tradisi Nasrani, berasal dari Santo Valentine yang menentang larangan pernikahan Kaisar Romawi Claudius.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan perayaan Hari Valentine sebagai haram. MUI menilai bahwa perayaan ini lebih banyak diwarnai dengan aktivitas yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti pesta dan mabuk-mabukan. Ada tiga alasan utama di balik larangan MUI terhadap perayaan Hari Valentine, yaitu bukan bagian dari tradisi Islam, mendorong pergaulan bebas, dan dampak negatifnya terhadap generasi muda Muslim.
Di sisi lain, lembaga fatwa Mesir, Dar al-Ifta menyatakan bahwa tidak ada larangan khusus bagi umat Muslim untuk merayakan Hari Kasih Sayang selama tidak melanggar ajaran agama. Meskipun ada perbedaan pendapat, umat Islam di Indonesia diimbau untuk berhati-hati dalam menyikapi perayaan Hari Valentine. Kasih sayang seharusnya diekspresikan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam, tanpa terikat pada tradisi non-Islam.