Fusi Intelijen Langkah Strategis untuk Kepentingan Bangsa
MENUJU pemilihan umum terakhir, beberapa kritik ditujukan kepada badan-badan intelijen di Indonesia. Publik, misalnya, mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo tentang laporan mengenai kegiatan dan arah politik partai di Indonesia dan menyebutnya penyalahgunaan kewenangan. Hal ini juga diikuti dengan tuduhan keterlibatan badan-badan intelijen untuk mendukung kandidat tertentu.
Secara prinsipil, badan intelijen memiliki pengguna dan dalam konteks intelijen strategis, pengguna tersebut adalah Presiden. Maka, sudah semestinya Presiden mendapatkan briefing mengenai kondisi terbaru negara untuk mengambil kebijakan yang tepat.
Hal ini sejalan dengan fungsi intelijen untuk memberikan peringatan dini agar tidak terjadi kejadian strategis. Mencari angsa hitam, istilah yang sering digunakan.
Dalam upaya membangun peringatan tersebut, badan intelijen melakukan pengumpulan informasi dari berbagai sumber, terbuka maupun tertutup, dan mengolahnya dengan analisis teknis khusus untuk membuat informasi itu bernilai. Dalam kerangka ini, informasi menjadi hal pokok dalam kinerja intelijen.
Di dunia yang semakin terbuka saat ini, analisis intelijen tidak lagi hanya bergantung pada informasi tertutup yang dikumpulkan melalui operasi khusus. Di era Perang Dingin, informasi tertutup, yang dikenal sebagai human intelligence, memegang peranan utama. Namun, saat ini, dunia digital membuat beragam informasi tersedia melimpah di ruang-ruang terbuka. Open source intelligence, social media intelligence, hingga crowdsourcing intelligence dapat diakses dengan mudah.
Beban kerja intelijen saat ini bukan lagi pada pengumpulan informasi namun pada kemampuan untuk mengorganisir informasi. Ini tidak berarti human intelligence tidak penting lagi. Yang terutama adalah bagaimana menggabungkan berbagai jenis informasi tersebut.
Sebuah contoh penting mengenai perlunya menggabungkan informasi intelijen adalah kasus serangan teror 9/11 di Amerika Serikat. Laporan 9/11 Commission Report dengan tegas menyimpulkan bahwa kegagalan utama terletak pada kemampuan badan-badan intelijen Amerika Serikat dalam menghunbungkan informasi. Artinya, informasi yang ada sebenarnya memadai namun terpecah dalam sekat-sekat lembaga. Dalam konteks ini, usulan Presiden Joko Widodo tentang orkestrasi intelijen, terlepas dari pro dan kontra yang muncul, menjadi penting.
Orkestrasi intelijen tersebut pada dasarnya terkait dengan kebutuhan menciptakan sistem manajemen data intelijen yang dapat melintasi sekat-sekat organisasi atau dikenal secara akademik sebagai fusi intelijen.
Dengan adanya fusi intelijen, pemanfaatan data dapat menjadi lebih optimal terutama dalam melindungi keamanan negara dan bangsa, yang juga sejalan dengan pesan Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam Kongres PAN.
Namun, publik, termasuk akademisi, merespons berbeda terhadap ide orkestrasi intelijen tersebut. Perdebatan justru terfokus pada siapa yang menyampaikan usulan mengenai orkestrasi intelijen. Hal ini bertentangan dengan mandat dalam Undang-Undang Intelijen Negara yang dengan jelas menyebutkan BIN sebagai koordinator dalam penyelenggaraan intelijen negara. Ide ini dianggap sebagai upaya mengurangi kewenangan BIN dan, sebaliknya, memperkuat peran Kementerian Pertahanan yang sebenarnya tidak memiliki fungsi intelijen.
Di Indonesia sendiri, intelijen sudah menjadi subjek reformasi. Berbagai kontrol demokratis diciptakan. Jika dianggap tidak mencukupi, kontrol tersebut dapat ditambah atau diperbaiki. Namun, memperbaiki kontrol bukan berarti membatasi kewenangan intelijen. Menuntut akuntabilitas tidak selalu harus dengan mengungkap kinerja badan intelijen.
Sebaliknya, penguatan badan-badan intelijen, terutama BIN, menjadi sangat penting mengingat tantangan saat ini dan di masa depan yang semakin kompleks. Dunia yang penuh dengan hubungan ini membutuhkan kapasitas intelijen yang kuat dalam mengumpulkan dan mengolah informasi.
Secara praktis, Indonesia sudah memiliki berbagai badan intelijen dengan fungsi yang berbeda. Namun, saatnya informasi-informasi yang mereka kumpulkan tidak lagi dikelompokkan. Ancaman terhadap negara tidak lagi hanya berasal dari dalam atau luar saja, melainkan sudah saling terkait.
Sebuah kasus penyelewengan pajak bisa saja terhubung dengan aktivitas kelompok kejahatan transnasional yang didukung oleh negara tertentu. Oleh karena itu, perlu ada koneksi antara badan-badan intelijen tersebut. Hal ini tidak selalu terjadi pada tingkat nasional, namun bisa dimulai dari aksi di sebuah daerah terpencil.
Karena itu badan intelijen harus mampu mencakup seluruh wilayah Indonesia. Penataan ini penting agar cakupan aktivitas pengumpulan data lebih luas.
Broto Wardoyo
Dosen di Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan Program Kajian Intelijen Stratejik, Universitas Indonesia
Editor: Wahyu Aji
Sumber: https://www.tribunnews.com/tribunners/2024/08/26/fusi-intelijen-untuk-kepentingan-bangsa