Minggu, 30 Juni 2024 – 00:04 WIB
Jakarta – Pakar Filologi, Prof. Menachem Ali ikut memberikan komentar terkait polemik nasab Ba’alawi atau garis keturunan habib di Indonesia yang dianggap tidak mungkin terhubung ke Nabi Muhammad SAW oleh Pengurus Pondok Pesantren (Ponpes) Nahdlatul Ulum Banten, KH Imaduddin Utsman.
Sebelumnya, Imaduddin menyatakan bahwa ia telah melakukan penelitian mengenai nasab Nabi Muhammad SAW dan keturunannya mulai dari Fatimah, Husein, Ali Zainal Abidin hingga ke Ahmad bin Isa. Namun dia menghadapi kesulitan saat mencapai baris Ahmad bin Isa yang hidup pada abad keempat Hijriah.
Setelah menyelidiki sejumlah dokumen atau manuskrip dari abad keempat hingga kedelapan Hijriah, Imaduddin menemukan fakta bahwa Ahmad bin Isa hanya memiliki tiga orang anak, yaitu bernama Muhammad, Ali dan Husein.
Imaduddin mengakui bahwa ia tidak menemukan tokoh bernama Ubaydillah yang disebut oleh kelompok Ba’alawi sebagai anak dari Ahmad bin Isa dan juga tokoh yang mereka klaim sebagai leluhur para habib di Indonesia.
Ubaydillah sendiri merupakan tokoh yang diklaim oleh kelompok Ba’alawi sebagai datuk atau leluhur para habib di Indonesia. Sampai saat ini, garis keturunannya terus digunakan. Nama Ba’alawi diambil dari nama anak Ubaydillah, yaitu Alawi.
Lebih lanjut, Imaduddin baru menemukan nama Ubaydillah pada manuskrip yang ditulis pada abad kesembilan. Manuskrip tersebut ditulis oleh tokoh Ba’alawi bernama Ali Bin Abu Bakar As-Sakran.
Respons pakar filologi
Terkait hal tersebut, pakar filologi, Prof. Menachem Ali mengatakan bahwa pernyataan Imaduddin tidak sepenuhnya keliru. Menurutnya, memang tidak pernah ditemukan manuskrip eksternal (selain yang dimiliki kelompok Ba’alawi) yang mengisahkan tokoh bernama Ubaydillah anak Ahmad bin Isa.
“Jika saya ditanya apakah dokumen mengenai tokoh yang bernama Ubaydillah itu eksis pada zaman (Ahmad bin Isa), maka saya bilang tidak ada,” ujar Menachem Ali.
Menachem Ali melanjutkan, manuskrip yang ditemukan pada abad kesembilan Hijriah tidak dapat diakui, karena ditulis oleh tokoh internal kelompok Ba’alawi.
“Masalahnya adalah tidak ada dokumen eksternal (selain milik Ba’alawi) yang mengisahkan tokoh bernama Ubaydillah. Hanya ada di kelompok Ba’alawi saja,” imbuhnya.
Jadi, lanjut dia, jika Ubaydillah ini merupakan tokoh historis maka seharusnya saat hidupnya antara abad kelima atau keenam terdapat manuskrip yang mengisahkan tentang sosoknya.
“Jadi dapat disimpulkan bahwa tokoh ini ditulis dalam rangka glorifikasi, sebagai orang yang memiliki hubungan dengan tokoh tersebut,” pungkasnya.