Tawuran yang diduga terjadi antara supporter grup musik tong-tong Angin Ribut dan Gong Mania, dinilai dapat menyebabkan terjadinya distorsi atau hilangnya nilai-nilai kebudayaan Sumenep. Budayawan Sumenep Ibnu Hajar menjelaskan bahwa tragedi tersebut merupakan tanda tidak adanya kesadaran komunal di masyarakat, baik sebagai pelaku maupun penikmatnya seperti para supporter tersebut.
Ibnu Hajar menyebutnya sebagai PR komunal yang harus disadari bersama, karena jika tidak, akan terjadi distorsi kebudayaan atau bahkan tragedi kebudayaan yang lebih parah. Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam pertunjukan kebudayaan atau ajang kesenian manapun yang digelar di Kabupaten Sumenep. Ibnu Hajar menyayangkan peristiwa ini dan menegaskan bahwa hal ini merupakan pukulan telak bagi kita semua.
Padahal, musik tong-tong seharusnya diajukan sebagai kekayaan tak benda milik Kabupaten Sumenep. Namun, jika terjadi seperti ini, penikmatnya justru mendistorsi sendiri kekayaan intelektual tersebut. Musik tong-tong sejak awal hadir sebagai wadah untuk mengekspresikan kebudayaan dan sebagai media pemersatu masyarakat. Melalui bunyi-bunyian yang indah dan harmonis dari musik tong-tong, tergambarlah harmoni dan keseragaman dalam kehidupan.
Oleh karena itu, Ibnu Hajar berharap agar kejadian serupa tidak terulang lagi dan masyarakat dapat menikmati kesenian dengan olah rasa sehingga keindahannya dapat terlihat dan dirasakan bersama. Jangan hanya menjadi ajang hura-hura, tetapi bagaimana kesenian dan kebudayaan yang disajikan dapat menggugah budi pekerti kita.
Sumenep, Suaraindonesia.co.id – Tawuran yang diduga terjadi antar supporter grup musik tong-tong Angin Ribut dan Gong Mania, dinilai dapat menyebabkan terjadinya distorsi atau hilangnya nilai-nilai kebudayaan Sumenep. Budayawan Sumenep Ibnu Hajar menjelaskan, tragedi itu merupakan sebuah tanda tidak adanya kesadaran komunal di masyarakat, baik sebagai pelaku maupun penikmatnya seperti para supporter tersebut.
“Ini PR (Pekerjaan Rumah) komunal ya PR kita bersama kalau ini tidak disadari maka akan terjadi distorsi kebudayaan bahkan lebih sarkas lagi saya menyebutnya tragedi kebudayaan,” jelasnya.
Apalagi kata dia kejadian ini sebelumnya tidak pernah terjadi dalam pertunjukan kebudayaan maupun ajang kesenian manapun yang digelar di Kabupaten Sumenep.
“Saya tidak tahu ya siapa yang salah siapa yang benar pemicunya apa tapi saya sebagai budayawan sangat menyayangkan peristiwa ini dan ini pukulan telak bagi kita semua,” lanjutnya.
Padahal lanjut Ibnu Hajar kesenian musik tong-tong akan diajukan sebagai kekayaan tak benda milik Kabupaten Sumenep.
“Artinya gini ya jadi tong-tong sudah mau kita ajukan menjadi kekayaan tak benda yang khas Sumenep kekayaan intelektual itu tapi kalau terjadi seperti ini ini kan penikmatnya kan mendistorsi sendiri kalau seperti itu,” tegasnya.
Dirinya juga menjelaskan bahwa sejak awal kehadiran musik tong-tong merupakan wadah mengekspresikan kebudayaan sekaligus media pemersatu masyarakat.
Menurutnya hal itu tergambar lewat hentakan dari bunyi-bunyian yang beralun indah penuh harmoni dari permainan musik tong-tong.
“Karena Harmoni kedengarannya enak di telinga jadi filosofinya adalah bagaimana kita menciptakan harmonisasi dalam hidup keseragaman dalam hidup jadi singkatnya terbangun sebuah bentuk dinamisasi kebudayaan dan seni itu sendiri,” ucapnys.
Oleh sebab itu, ia berharap agar kejadian serupa tidak pernah terjadi lagi dan masyarakat bisa menikmati kesenian dengan olah rasa sehingga keindahan di dalamnya bisa terlihat dan dirasakan bersama.
“Jadi tidak hanya sekedar bagaimana ajang ini, event ini menjadi ajang hura-hura. Tetapi bagaimana kesenian dan kebudayaan yang disuguhkan budi pekerti kita,” pungkasnya.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA